Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang dan apa yang
memberikan arah
bagi aktivitasnya. Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Motivasi yang bersifat intrinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri
yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan
melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status
ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan kegemarannya. Sedangkan
motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen-elemen diluar pekerjaan yang melekat
di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi
seperti status ataupun kompensasi.
Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan
untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia
akan dapat menjadi seperti apa.
Berikut beberapa teori-teori motivasi.
A. Teori Motivasi Abraham Maslow (1943-1970)
Abraham Maslow (1943;1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia
memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk
piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan
itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow. Dimulai dari kebutuhan biologis dasar
sampai motif psikologis yang lebih kompleks, yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Berikut gambar piramid dari teori
motivasi Abraham Maslow.
- Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)
- Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
- Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki)
- Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan)
- Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan; kebutuhan aktualisasi diri: mendapatkan kepuasan diri dan menyadari potensinya).
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua
(keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan
menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula
dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi
kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas
kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia
merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya
bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan
bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang
unsur manusia dalam kehidupan organisasional. Teori klasik Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan
mengalami koreksi. Penyempurnaan atau koreksi tersebut terutama diarahkan pada
konsep “hierarki kebutuhan“ yang
dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan.
Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu
tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia,
berarti apabila makanan dan
rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendominasi
tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan menjadi kurang
signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi untuk menekuni minat
estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya sudah dapat dipenuhi dengan
mudah. Karya seni dan karya ilmiah tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat
yang anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan
rasa aman.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan
manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat,
akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha
pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya,
sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin
menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan
manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan
bahwa:
a. Kebutuhan
yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang
akan datang.
b. Pemuasaan
berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari
pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya.
c. Berbagai kebutuhan tersebut
tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana
seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Dari uraian di atas, Maslow’s Need Hierarchy Theory ini mempunyai
kebaikan dan kelemahan, sebagai berikut:
Kebaikannya:
1. Teori
ini memberikan informasi bahwa kebutuhan manusia itu jamak (material dan
nonmaterial) dan bobotnya bertingkat-tingkat pula.
2. Manajer
mengetahui bahwa seseorang berperilaku atau bekerja adalah untuk dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan (material dan nonmaterial) yang akan memberikan kepuasaan
baginya.
3. Kebutuhan
manusia itu berjenjang sesuai dengan kedudukan atau sosial ekonominya.
Seseorang yang berkedudukan rendah (sosial ekonomi lemah) cenderung dimotivasi oleh material, sedang
orang yang berkedudukan tinggi cenderung dimotivasi oleh nonmaterial.
4. Manajer
akan lebih mudah memberikan alat motivasi yang paling sesuai untuk merangsang
semangat bekerja bawahannya.
Kelemahannya:
Menurut teori ini kebutuhan manusia itu adalah bertingkat-tingkat atau
hierarkis, tetapi dalam kenyataannya manusia menginginkan tercapai sekaligus
dan kebutuhan itu merupakan siklus, seperti lapar-makan-lapar lagi-makan lagi
dan seterusnya.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih
bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi
pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya
yang lebih bersifat aplikatif.
B. Herzberg’s Two Factors Theory (1966)
Ilmuwan yang diakui telah
memberikan kontribusi penting dalam pemahaman motivasi Herzberg. Teori yang
dikembangkannya dikenal dengan “Model Dua Faktor” dari motivasi, yaitu faktor
motivasional dan faktor hygiene atau “pemeliharaan”. Menurut teori ini yang dimaksud faktor motivasional adalah hal-hal
yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik, yang berarti bersumber
dalam diri seseorang, sedangkan yang dimaksud dengan faktor hygiene atau
pemeliharaan adalah faktor-faktor yang sifatnya
ekstrinsik yang berarti bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku
seseorang dalam kehidupan seseorang.
Menurut Herzberg, yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain
ialah pekerjaan seseorang, keberhasilan yang diraih, kesempatan bertumbuh,
kemajuan dalam karier dan pengakuan orang lain. Sedangkan faktor-faktor hygiene
atau pemeliharaan mencakup antara lain status seseorang dalam organisasi, hubungan
seorang individu dengan atasannya, hubungan seseorang dengan rekan-rekan
sekerjanya, teknik penyeliaan yang diterapkan oleh para penyelia, kebijakan
organisasi, sistem administrasi dalam organisasi, kondisi kerja dan sistem
imbalan yang berlaku.
Salah satu tantangan dalam memahami dan menerapkan teori Herzberg ialah
memperhitungkan dengan tepat faktor mana yang lebih berpengaruh kuat dalam
kehidupan seseorang, apakah yang bersifat intrinsik ataukah yang bersifat
ekstrinsik.
C. Teori Motivasi Douglas McGregor
Mengemukakan dua pandangan manusia yaitu teori x (negative) dan teori y (positif), Menurut
teori x, empat pengandaian yang dipegang manajer yaitu:
a.
Karyawan
secara inheren tertanam dalam dirinya tidak menyukai kerja
b.
Karyawan tidak menyukai kerja mereka harus diawasi atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai
tujuan.
c.
Karyawan akan menghindari tanggung jawab.
d.
Kebanyakan karyawan menaruh keamanan diatas semua faktor yang dikaitkan dengan kerja.
Kontras dengan
pandangan negatif ini
mengenai kodrat manusia ada empat teori y, yaitu:
- Karyawan dapat memandang kerjasama dengan sewajarnya seperti istirahat dan bermain.
- Orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka komit pada sasaran.
- Rata rata orang akan menerima tanggung jawab.
- Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif.
D. Teori Motivasi Vroom (1964)
Teori dari Vroom tentang cognitive theory of motivation menjelaskan
mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat
melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan.
Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga
komponen, yaitu:
·
Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu
tugas
·
Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang
akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas
untuk mendapatkan outcome tertentu).
·
Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti
perasaan posistif, netral, atau negatif. Motivasi
tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapan. Motivasi rendah jika usahanya menghasilkan
kurang dari yang diharapkan
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work and Motivation”
mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut
teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh
seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada
hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan
sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan
akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa
jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu
cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang
diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya
itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah. Di kalangan ilmuwan dan para praktisi
manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri
karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai
dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang
paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting
karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara
pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
E. Mc.
Clelland’s Achievment Motivation Theory (1961)
Dari Mc. Clelland
dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for
Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan
kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Yang dikemukakan oleh Mc Clelland
(1961), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia,
yaitu:
- Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
- Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan soscialneed-nya Maslow)
- Need for Power (dorongan untuk mengatur)
Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan
prestasi tersebut sebagai keinginan: “Melaksanakan
sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit, menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik,
manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan
seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala,
mencapai standar tinggi.
Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan
dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara
berhasil.” Menurut McClelland karakteristik orang
yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu: (1)
sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan
moderat; (2) menyukai situasi-situasi di mana kinerja mereka timbul karena
upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti
kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan
kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
F. ERG Theory Alderfer
Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada
kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness), dan
pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori Maslow. Disini
Alfeder mengemukakan bahwa
jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia
akan kembali pada gerak yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu ke waktu dan dari situasi ke situasi.
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG”. Akronim “ERG” dalam teori
Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu: E=Existence
(kebutuhan akan eksistensi), R=Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain), dan G=Growth (kebutuhan akan pertumbuhan). Jika makna tiga istilah tersebut didalami
akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan
antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena
“Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam
teori Maslow; “Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat
menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self
actualization” menurut Maslow. Kedua, teori
Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan
pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan
tampak bahwa:
a. Makin tidak terpenuhinya suatu
kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya;
b. Kuatnya keinginan memuaskan
kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah
telah dipuaskan;
c. Sebaliknya, semakin sulit
memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk
memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia.
Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri
pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan
perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
G. Teori
Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk
menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi
dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai
persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat
terjadi, yaitu:
a. Seorang akan berusaha
memperoleh imbalan yang lebih besar, atau
b. Mengurangi intensitas usaha
yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam
menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal
sebagai pembanding, yaitu:
a.
Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya
layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan,
keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya;
b.
Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi
yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan
sendiri;
c.
Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi
lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis;
d.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai
jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai. Pemeliharaan hubungan dengan pegawai
dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian
harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi
meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul
berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat
kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas,
seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan
masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
H. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)
Edwin Locke mengemukakan bahwa dalam penetapan
tujuan memiliki empat macam mekanisme motivasional yakni: (a) tujuan-tujuan
mengarahkan perhatian; (b) tujuan-tujuan mengatur upaya; (c) tujuan-tujuan
meningkatkan persistensi; dan (d) tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan
rencana-rencana kegiatan.
I. Teori Penguatan dan
Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah
dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena
didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang
bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut. Padahal dalam kehidupan organisasional
disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai
konsekwensi eksternal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai
faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah
perilaku. Dalam hal ini berlakulah
apa yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia
cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang
menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang
mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara
yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan
martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut
ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
J.
Teori
Kaitan Imbalan dengan Prestasi
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang
sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para
ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang
terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi
satu model. Tampaknya terdapat kesepakatan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang
tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu.
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada
faktor internal adalah: (a) persepsi seseorang mengenai diri sendiri; (b) harga
diri; (c) harapan pribadi; (d) kebutuhaan; (e) keinginan; (f) kepuasan kerja;
(g) prestasi kerja yang dihasilkan. Sedangkan
faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah: (a) jenis
dan sifat pekerjaan; (b) kelompok kerja dimana seseorang bergabung; (c)
organisasi tempat bekerja; (d) situasi lingkungan pada umumnya; (e) sistem
imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
K. Teori Drive Reinforcement
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan
pemberian konpensasi. Misalnya promosi seorang karyawan itu tergantung dari
prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Sifat ketergantungan tersebut
bertautan dengan hubungan antara perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku
tersebut. Teori pengukuhan ini terdiri dari dua jenis, yaitu:
1. Pengukuhan Positif (Positive
Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuh
positif diterapkan secara bersyarat.
2. Pengukuhan Negatif (Negative
Reinforcement), yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi jika pengukuhan
negatif dihilangkan secara bersyarat.
Nadler
dan Lawler (1976) atas teori harapan menyarankan beberapa cara tertentu yang
memungkinkan manejer dan organisasi menangani urusan mereka untuk memperoleh
motivasi maksimal dari pegawai:
1. Pastikan
jenis hasil atau ganjaran yang mempunyai nilai bagi pegawai
2. Definisikan
secara cermat, dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur, apa yang
dinginkan dari pegawai
3. Pastikan
bahwa hasil tersebut dapat dicapai oleh pegawai
4. Kaitkan
hasil yang dinginkan dengan tingkat kinerja yang diinginkan
5. Pastikan
bahwa ganjaran cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting
6. Orang
bekinerja tinggi harus menerima lebih banyak ganjaran yang diinginkan daripada
orang yang berkinerja rendah.
Terdapat
empat konsep dasar yang perlu dipahami dengan jelas, yaitu:
1. Perangsang
(drive)
Suatu keadaan yang timbul di dalam diri seseorang.
Contoh: perangsang primer dan sekunder. Primer seperti lapar (tidak dapat
dipelajari). Sekunder seperti rasa penasaran untuk hadir pada pembicaraan
tinjauan balikan prestasi (yang dapat dipelajari).
2. Stimulus
Suatu petunjuk adanya peristiwa untuk tanggapan. Contoh: permintaan seorang supervisor adalah suatu stimulus untuk menyelesaikan pekerjaan, dan waktu pada jam dinding adalah suatu stimulus untuk bangun dan pergi ke pertemuan rapat komisi.
Suatu petunjuk adanya peristiwa untuk tanggapan. Contoh: permintaan seorang supervisor adalah suatu stimulus untuk menyelesaikan pekerjaan, dan waktu pada jam dinding adalah suatu stimulus untuk bangun dan pergi ke pertemuan rapat komisi.
3. Tanggapan
Suatu hasil keprilakuan dari stimulus. Contoh: aktivitas dari orang yang bersangkutan, tanpa memandang apakah stimulus itu dapat diidentifiksasikan atau aktivitas tersebut dapat diamati.
Suatu hasil keprilakuan dari stimulus. Contoh: aktivitas dari orang yang bersangkutan, tanpa memandang apakah stimulus itu dapat diidentifiksasikan atau aktivitas tersebut dapat diamati.
4. Penguat
Suatu setiap obyek datau kejadian yang membantu meningkatkan atau mempertahankan kekuatan sebuah tanggapan. Contoh: pujian dari atasan, kenaikan gaji, dan alih ttugas ke pekerjaan yang diingkan.
Suatu setiap obyek datau kejadian yang membantu meningkatkan atau mempertahankan kekuatan sebuah tanggapan. Contoh: pujian dari atasan, kenaikan gaji, dan alih ttugas ke pekerjaan yang diingkan.
L. Teori Motivasi Human
Relations
Teori ini lebih mengutamakan
pada hubungan seseorang dengan lingkungannya. Menurut teori ini seseorang akan
berprestasi baik, jika ia diterima dan diakui dalam pekerjaannya dan
lingkungannya. Teori ini juga menekankan peranan aktif pimpinan organisasi
dalam memelihara hubungan dan kontak-kontak pribadi dengan bawahannya yang
dapat membangkitkan gairah kerja.
Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat
dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu behavioral, cognitive, psychoanalytic,
humanistic,
social learning,
dan social
cognition.
1.
Teori-teori Behavioral
Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun
1908 menyampaikan Optimal Arousal Theory atau teori tentang tingkat
motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal) dan
kinerja (performance).
Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan tetapi
hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu
tinggi, kinerja justru menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal
untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes & Dodson, 1908).
Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory
yang menyatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya (Budiningsih,
2005). Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan
suatu dorongan (drive)
untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan
kemungkinan bahwa makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi
kebutuhan (need
reduction response). Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance)
dan reinforcement
bekerja bersama-sama untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang
sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull merumuskan teorinya dalam bentuk
persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai penentu dari behaviour
(perilaku) dalam bentuk:
Behaviour = Drive
× Habit
Karena hubungan
dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0,
makhluk hidup tidak akan bereaksi sama sekali, walaupun habit yang
diberikan sangat kuat dan jelas (Berliner & Calfee, 1996).
Pada periode 1935
- 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh
prinsip dasar psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan
baik oleh person
(P) maupun oleh environment
(E):
Behaviour = f(P, E)
Menurut Lewin,
besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai
dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar
kecilnya kebutuhan, valensi (G ) atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis
orang tersebut dari tujuan (e).
Force = f(t, G)/e
Dalam persamaan
Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya
(motivasi), sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar
gaya motivasinya. Sebagai contoh, seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan
sprint
ketika ia melihat atau mendekati garis finish. Teori Lewin memandang motivasi
sebagai tension
yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya dari jarak psikologis yang
bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).
2.
Teori-teori Cognitive
Pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance
Theory yang menyatakan jika terdapat ketidakcocokan antara dua
keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka kita akan
bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal
ini adalah bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah
tertentu, ini akan menyebabkan seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian
mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah lebih jauh perilakunya (Huitt,
2001).
Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori
cognitive adalah Atribution Theory yang dikemukakan oleh Fritz Heider
(1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini
menyatakan bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan
diri sendiri atau orang lain dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu.
Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal dan terkontrol maupun yang
tidak terkontrol seperti tampak pada diagram berikut.
|
Internal
|
Eksternal
|
Tidak
terkontrol
|
Kemampuan
(ability)
|
Keberuntungan
(luck)
|
Terkontrol
|
Usaha (effort)
|
Tingkat
kesulitan tugas
|
Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk
membantu siswa mengembangkan atribut-diri usaha (internal, terkontrol). Jika
siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa
mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang
melemah (Huitt, 2001).
Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theory yang
secara matematis dituliskan dalam persamaan: Motivation = Perasaan berpeluang
sukses (expectancy)
× Hubungan antara sukses dan reward (instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value).
Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah
perkalian dari tiga variabel, maka jika salah satu variabel rendah, motivasi
juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada
supaya terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya
bahwa ia dapat sukses pada suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan
antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak menganggap tujuan belajar
yang dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat dalam
aktivitas belajar.
3.
Teori-teori Psychoanalytic
Salah satu teori yang sangat terkenal dalam
kelompok teori ini adalah Psychoanalytic Theory (Psychosexual Theory) yang
dikemukakan oleh Freud (1856 - 1939) yang menyatakan bahwa semua tindakan atau
perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang
terdiri dari dua kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression).
Erik Erikson yang merupakan murid Freud yang menentang pendapat Freud,
menyatakan dalam Theory of Socioemotional Development (atau Psychosocial Theory) bahwa
yang paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi adalah
interaksi sosial (Huitt, 1997).
4.
Teori-teori Humanistic = teori maslow
5.
Teori-teori Social Learning
Social Learning Theory (1954) yang diajukan
oleh Julian Rotter menaruh perhatian pada apa yang dipilih seseorang ketika
dihadapkan pada sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan
pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama
dalam psikologi, yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement
dan pendekatan cognitive
atau field.
Menurut Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation dan nilai reinforcement.
Nilai reinforcement
merujuk pada tingkat preferensi terhadap reinforcement tertentu (Berliner &
Calfee, 1996).
6.
Teori Social Cognition
Tokoh dari Social Cognition Theory adalah
Albert Bandura. Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat menunjukkan bahwa
penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran
dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain.
Bandura menyimpulkan penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan
pandangan kognitif dan pandangan belajar operan, yaitu 1)Attention,
memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah dilihat atau
diperoleh, 3)Reproduction,
melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat, 4)Motivation,
lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan
muncul lagi (reinforcement
and
punishment) (Huitt, 2004).
No comments:
Post a Comment