PUTRI
PANDAN BERDURI, ASAL MULA PERSUKUAN DI PULAU BINTAN
Pulau Bintan merupakan pulau yang terbesar di
Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Di Pulau ini terdapat Kota Tanjung Pinang, ibu
kota Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini dihuni oleh berbagai macam suku-bangsa
seperti Melayu, Tionghoa, Minang, Batak, Jawa dan lain-lain. Dahulu, di Pulau
Bintan juga pernah berdiam sekelompok suku-bangsa yang terkenal dengan nama
Suku Sampan atau Suku Laut. Terkait dengan hal ini, ada sebuah cerita rakyat
yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Kepulauan Riau,
khususnya masyarakat Bintan. Cerita ini berkisah tentang Batin Lagoi, pemimpin
Suku Laut atau Suku Sampan di Pulau Bintan, yang menemukan seorang bayi
perempuan di semak-semak pandan di tepi laut. Batin Lagoi kemudian mengangkat
bayi itu sebagai anak dan diberinya nama Putri Pandan Berduri.
Batin Lagoi mengasuh Putri Pandan Berduri seperti
layaknya seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi mengajarinya budi pekerti
luhur, sehingga ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi bahasa
lembut. Kecantikan dan keelokan budi Putri Pandan Berduri mengundang decak
kagum para pemuda kampung di Bintan. Namun, tak seorang pun yang berani
meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang
anak raja atau megat.[1] Akankah tercapai cita-cita Batin Lagoi tersebut?
Lalu, anak raja atau anak megat dari manakah yang akan beruntung menjadi suami
Putri Pandan Berduri? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisah selengkapnya dalam
cerita Putri Pandan Berduri berikut ini.
* * *
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Pulau
Bintan berdiam sekumpulan orang Sampan atau orang Suku Laut. Mereka dipimpin
oleh seorang Batin yang gagah perkasa. Batin Lagoi namanya. Untuk masuk ke
kawasan Batin Lagoi itu, harus melalui sebuah betung[2]
yang ditumbuhi semak belukar yang rimbun.
Pada suatu hari, Batin Lagoi menyusuri pantai. Tengah berjalan santai,
tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara tangisan bayi dari arah semak-semak
pandan. Dengan perasaan takut, ia menerobos semak pandan itu dengan hati-hati.
Tak berapa lama, didapatinya seorang bayi perempuan tergeletak beralaskan daun
di antara semak pandan itu. “Anak siapa gerangan? Mengapa berada di sini? Orang
tuanya ke mana?” Batin Lagoi bertanya dalam hati.
Setelah menengok ke sekelilingnya, Batin Lagoi tidak melihat tanda-tanda
ada orang di sekitarnya. Karena ia tidak mempunyai anak, timbullah keinginan
untuk mengangkat bayi itu sebagai anak. Dengan hati-hati, diambilnya bayi itu
dan dibawanya pulang. Bayi itu kemudian ia beri nama Putri Pandan Berduri. Ia
memelihara Putri Pandan Berduri dengan penuh kasih-sayang seperti memelihara
seorang putri raja. Setiap hari Batin Lagoi juga memberinya pelajaran budi pekerti
yang luhur.
Waktu terus berjalan. Putri Pandan Berduri tumbuh menjadi gadis yang sangat
cantik. Tutur bahasa dan sopan-santunnya mencerminkan sifat seorang putri raja.
Kecantikan dan keelokan perangai Putri Pandan Berduri mengundang decak kagum
para pemuda di Pulau Bintan. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani
meminangnya, karena Batin Lagoi menginginkan putrinya menjadi istri seorang
anak raja atau anak megat.
Sementara itu, di Pulau Galang, tersebutlah seorang Megat yang mempunyai
dua orang anak laki-laki. Anak yang tua bernama Julela dan yang muda bernama
Jenang Perkasa. Sejak mereka kecil, Megat itu mendidik kedua anaknya agar
saling membantu dan saling menghormati.
Setelah keduanya beranjak dewasa, Megat menginginkan Julela sebagai batin
di Galang. Hal ini kemudian membuat Julela menjadi sombong. Ia sudah tidak
peduli dengan adiknya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi.
Mereka pun menjalani hidup masing-masing secara terpisah.
Dari hari ke hari kesombongan Julela semakin menjadi-jadi. Ia sering
mencaci dan memusuhi adiknya tanpa sebab. Pada suatu hari, Julela berkata
kepada adiknya, “Hei, Jenang bodoh!” Kelak aku menjadi batin di kampung ini,
maka kamu harus mematuhi segala perintahku. Jika tidak, kamu akan aku usir dari
kampung ini.”
Jenang Perkasa sangat sedih mendengar ucapan abangnya itu. Ia merasa tidak
lagi dianggap sebagai saudara. Hal ini menyebabkan Jenang Perkasa merasa
semakin terasing dari keluarga. Oleh karena itu, timbullah keinginannya untuk
meninggalkan Pulau Galang.
Keesokan harinya, secara diam-diam, Jenang Perkasa berlayar tak tentu arah.
Setelah berhari-hari mengarungi lautan luas, sampailah ia di Pulau Bintan. Di
sana, ia tidak mengaku sebagai anak seorang megat. Ia selalu bertutur kata
lembut kepada setiap orang yang diajaknya berbicara. Sikap dan perilaku Jenang
Perkasa itu telah menarik perhatian Batin Lagoi.
Pada suatu hari, Batin Lagoi mengadakan perjamuan makan bersama orang-orang
Suku Sampan lainnya. Tak ketinggalan pula Jenang Perkasa diundang dalam
perjamuan itu. Jenang Perkasa pun pergi memenuhi undangan itu. Saat jamuan
makan akan dimulai, ia memilih tempat yang agak jauh dari kawan-kawannya, agar
air cuci tangannya tidak jatuh di hidangan yang ia makan. Tanpa disadarinya,
ternyata sejak ia datang sepasang mata telah memerhatikan perilakunya, yang tak
lain adalah Batin Lagoi. Tingkah laku dan budi pekerti Jenang Perkasa itu
sungguh mengesankan hati Batin Lagoi.
Usai perjamuan, Batin Lagoi menghampiri Jenang Perkasa. “Wahai, Jenang
Perkasa! Aku sangat terkesan dan kagum dengan keelokan budi pekertimu.
Bersediakah engkau aku nikahkan dengan putriku, Pandan Berduri?” tanya Batin
Lagoi. “Dengan segala kerendahan hati, saya bersedia menerima putri tuan
sebagai istri saya,” jawab Jenang Perkasa dengan sopannya.
Rupanya, Batin Lagoi sudah lupa dengan cita-citanya untuk menikahkan
putrinya dengan anak raja atau megat. Meskipun sebenarnya Jenang Perkasa adalah
anak seorang megat, tetapi Batin Lagoi tidak mengetahui tentang hal itu. Ia
sungguh-sungguh tertarik dengan perangai Jenang Perkasa yang baik itu.
Seminggu kemudian, Jenang Perkasa pun dinikahkan dengan Putri Pandan
Berduri. Pernikahan mereka dilangsungkan sangat meriah. Aneka minuman dan
makanan dihidangkan. Tari-tarian juga dipergelarkan menghibur para pengantin
dan para undangan. Jenang Perkasa dan Putri Pandan Berduri pun hidup bahagia.
Tak berapa lama kemudian, Batin Lagoi mengangkat Jenang Perkasa sebagai
Batin di Bintan untuk menggantikan dirinya. Jenang Perkasa memimpin rakyat
Bintan dengan bijaksana sesuai dengan adat yang berlaku di Bintan.
Kepemimpinan Jenang Perkasa yang bijaksana itu terdengar oleh masyarakat
Galang. Hingga suatu hari, datanglah sekumpulan orang dari Galang ke Pulau
Bintan. “Wahai, Jenang Perkasa! Kami sudah mengetahui tentang kepemimpinanmu di
Pulau Bintan ini. Maksud kedatangan kami ke sini untuk mengajak engkau kembali
ke Galang mengggantikan abang Engkau yang sombong itu sebagai Batin,” kata
salah seorang dari mereka. Namun, Jenang Perkasa menolaknya. Ia lebih memilih menjadi
Batin di Pulau Batin. Sekumpulan orang dari Galang itu pun kembali dengan
tangan hampa.
Sementara Jenang Perkasa hidup berbahagia bersama Putri Pandan Berduri.
Mereka mempunyai tiga orang putra, yang sulung dinamakan Batin Mantang, yang
tengah Batin Mapoi, dan yang bungsu Batin Kelong.
Jenang Perkasa mendidik ketiga anaknya dengan baik, agar mereka tidak
menjadi orang yang sombong. Ia berharap kelak mereka akan menjadi pemimpin suku
yang bertanggung jawab. Maka pada ketiga anaknya diadatkannya dengan adat suku
Laut, dan dinamakan dengan adat Kesukuan.
Setelah beranjak dewasa, ketiga anaknya tersebut memimpin suku mereka
masing-masing. Batin Mantang membawa berhijrah ke bagian utara Pulau Bintan,
Batin Mapoi dengan sukunya ke barat, dan Kelong dengan sukunya ke timu Pulau
Bintan. Ketiga suku tersebut kemudian menjadi suku terbesar dan termasyhur di
daerah Bintan. Jika mereka mengalami kesulitan, mereka kembali kepada yang
pertama, yaitu kepada adat Kesukuan.
Tak lama kemudian, Jenang Perkasa meninggal dunia, disusul Putri Pandan
Berduri. Walaupun keduanya telah tiada, tetapi anak-cucu mereka banyak sekali,
sehingga adat Kesukuan terus berlanjut. Hingga kini, Jenang Perkasa dan Putri
Pandan Berduri tetap dikenang karena dari merekalah lahir persukuan di Teluk
Bintan. Suku Laut atau Suku Sampan ini masih banyak ditemukan berdiam di
perairan Pulau Bintan.
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang
mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun nilai-nilai moral yang dapat diambil pelajaran
dalam cerita di atas adalah keutamaan perangai yang baik dan pantangan bersikap
sombong. Sifat berperangai baik tercermin pada sikap dan perilaku Putri Pandan
Berduri dan Jenang Perkasa. Mereka selalu bertutur kata yang lembut, sopan dan
santun, sehingga mereka banyak disenangi orang. Sikap dan perilaku mereka
tersebut patut untuk dijadikan sebagai suri teladan dalam kehidupan
sehari-hari.
Sementara sifat sombong tercermin pada sifat Julela yang selalu merendahkan
adiknya, Jenang Perkasa. Kesombongannya pun semakin menjadi setelah diangkat
menjadi Batin Galang. Oleh karena sifatnya tersebut, ia dijauhi oleh
masyarakat. Bahkan adiknya sendiri pergi meninggalkannya. Besarnya akibat buruk
yang ditimbulkan oleh sifat sombong, sehingga sifat ini sangat dipantangkan
dalam kehidupan orang Melayu. Bagi mereka, orang yang sombong dan angkuh akan
terkucilkan dalam masyarakat. Banyak petuah amanah yang menyebutkan tentang
akibat buruk dari sifat sombong dan angkuh ini, di antaranya:
kalau suka
membesarkan diri,
saudara menjauh, sahabat pun lari
saudara menjauh, sahabat pun lari
kalau suka berlaku
angkuh,
orang benci, sahabat menjauh
orang benci, sahabat menjauh
(SM/sas/43/11-07)
Sumber:
·
Isi cerita diringkas dari Azmi. Putri
Pandang Berduri: Asal Mula Persukuan di Pulau Bintang. 2005. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
·
Anonim. “Pulau Bintan,”
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Bintan, diakses tanggal 8 November 2006.
·
Effendy, Tennas, 1994/1995. `Ejekan`
terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Riau: Bappeda
Tingkat I Riau.
[1] Megat adalah keturunan raja,
daling, sutan, wan, syekh, nong, marah, atau paduka matur
(gelar kebangsawanan di Riau) dari pihak ibu.
No comments:
Post a Comment