Tuesday, March 19, 2013

Klasifikasi Anak Tuna Daksa


Menurut Hallahan & Kauffman (dalam Effendi, 2006:115), secara umum karakteristik kelainan anak yang dikategorikan sebagai penyandang tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi anak tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped).
            Menurut Heward & Orlansky (dalam Effendi, 2006:115), anak tunadaksa ortopedi (orthopedically handicapped) ialah anak tunadaksa yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot tubuh, ataupun daerah persendian baik yang dibawa sejak lahir (congenital) maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan) sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal. Menurut ilmu kedokteran, untuk menetapkan siapa-siapa yang cacat (tunadaksa) dan perlu diberikan pertolongan rehabilitasi jika mempunyai kelainan pada tubuh yang sifatnya menetap dan tidak akan berubah dalam waktu 6 bulan.
Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka adalah sebagai berikut.
a.       Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan bersifat menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dibedakan menjadi sebagai berikut.
1)       Tipe spinal yaitu kelumpuhan pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
2)       Tipe bulbair yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernafasan
3)       Tipe bulbispinalis yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
4)       Encephalitis yang biasa disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio bersifat layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat indra. Akibat yang disebabkan oleh penyakit ini adalah otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung kesalah satu sisi seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok keluar atau kedalam,dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).
b.      Muscle dystrophy
Merupakan jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang bersifat progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
c.       Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan.
Menurut Suroyo (dalam Effendi, 2006:116), berdasarkan insiden terjadinya ketunadaksaan ortopedi, dasar pemberian pertolongan rehabilitasi, dan usaha penempatan kerja, penderita tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi ketunadaksaan karena suatu peperangan, ketunadaksaan karena kecelakaan dalam suatu pekerjaan, ketunadaksaan karena kecelakaan lalu lintas, ketunadaksaan karena penyakit, serta ketunadaksaan yang didapat sejak lahir.
Menurut Heward & Orlansky (dalam Effendi, 2006:116), anak tunadaksa saraf (neurologically handicapped) yaitu anak tunadaksa yang mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik, emosi, dan mental. Luka pada bagian tertentu, efeknya penderita akan mengalami gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan.
Menurut Kirk (dalam Effendi, 2006:118), luka pada bagian otak tertentu efeknya penderita akan mengalami gangguan dalam perkembangan, mungkin akan berakibat ketidakmampuan dalam melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada fungsi otak dapat dilihat pada anak cerebral palsy (CP). Cerebral palsy yang berasal dari kata cerebral yang artinya otak, dan palsy yang mempunyai arti ketidakmampuan atau gangguan motorik. Jadi cerebral palsy memiliki pengertian lengkap yakni gangguan aspek motorik yang disebabkan oleh disfungsinya otak.
Pengertian selengkapnya dapat dikutip dari The United Cerebral Palsy Association, cerebral palsy menyangkut gambaran klinis yang diakibatkan oleh luka pada otak, terutama pada komponen yang menjadi penghalang dalam gerak sehingga keadaan anak yang dikategorikan cerebral palsy dapat digambarkan sebagai kondisi semenjak kanak-kanak dengan kondisi nyata, seperti lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak yang disebabkan oleh patologi pusat control gerak di otak.
Dengan terganggunya fungsi motorik, sebagaimana yang dialami anak penderita cerebral palsy, rentetan kesulitan berikutnya kemungkinan dapat mempengaruhi kesulitan belajar, masalah-masalah kejiwaan, kelainan sensoris, kejang-kejang, maupun penyimpangan perilaku yang bersumber pada fungsi organ tubuhnya. Dalam banyak kasus, luka atau gangguan yang terjadi pada otak atau bagian-bagiannya baik yang didapat sebelum, selama, maupun sesudah kelahiran dapat menyebabkan gangguan pada mental, kekacauan bahasa (aphasia), ketidakmampuan membaca (disleksia), ketidakmampuan menulis (agrafia), ketidakmampuan memahami kata-kata (word deafness), ketidakmampuan berbicara (speech defect), ketidakmampuan berhitung (akalkuli), dan berbagai bentuk gangguan gerak lainnya.
Cerebral palsy menurut derajat kecacatannya diklasifikasikan menjadi: (1) ringan, ciri-cirinya yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri sendiri; (2) sedang, ciri-cirinya Membutuhkan bantuan untuk latihan bicara, berjalan, dan mengurus diri; (3) berat, ciri-cirinya membutuhkan perawatan tetap dalam ambulansi, bicara, dan menolong diri.
Menurut Hallahan & Kaufman dalam Efendi (2006:119) dilihat dari manifestasi yang tampak pada aktivitas motorik, anak cerebral palsy dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok.
a.       Spasticity
Ciri-cirinya terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya hal ini disebabkan oleh kondisi anak yang mengalami spasticity terjadi karena lapisan luar otak (khususnya lapisan motor) bidang piramida dan beberapa kemungkinan bidang ekstra piramida yang berhubungan dengan pengontrolan gerakan sadar tidak berfungsi sempurna. Daerah tertentu pada otak dapat menimbulkan gerakan tertentu, kontraksi, atau rangsangan. Faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut disebut supresor. Apabila ada salah satu supresor ini masuk, maka akan terjadi suatu desakan, akibatnya otot akan berada dalam kondisi tegang dan kejang.
Ketika kondisi otot kejang keseimbangan akan hilang, gerakan yang muncul menjadi tidak harmonis, tidak terkontrol, dan kontraksi otot tidak teratur sehingga gerakan yang tampak seperti suatu hentakan. Beberapa kelompok otot yang dapat dipengaruhi oleh kelumpuhan jenis ini antara lain monoplegia yaitu jika salah satu anggota badan mengalami kekejangan, hemiplegia artinya jika salah satu dari anggota tubuh seperti kaki dan tangan mengalami kekejangan, triplegia yaitu jika tiga di antara anggota tubuh, seperti dua kaki dan satu tangan mengalami kekejangan, paraplegia yaitu jika kekejangan itu terjadi pada kedua kaki, dan quadriplegia yaitu kekejangan yang muncul pada keempat anggota tubuh, sebagian kadang-kadang di kepala dan anggota tubuh lainnya.
Karakteristik lain dari spasticity ini adalah penderita menunjukkan hypertomicity seperti tegangan otot yang berlebihan atau kontraksi getaran sewaktu otot-otot beristirahat. Distribusi frekuensi penderita spasticity sekitar 40-60% dari anak penderita cerebral palsy.
Menurut Delphie (2006:124), pada kasus-kasus yang ringan anak yang mengalami spasticity bisa mengembangkan keseimbangan tangannya untuk sedikit mengendalikan gaya berjalan. Pada kasus-kasus tingkat sedang, peserta didik spastic dapat memegang lengan untuk diarahkan ke tubuhnya, membengkokkan sikunya dengan membengkokkan tangannya, dengan kaki yang diputar secara hati-hati pada lutut, dan menghasilkan jalan gaya gunting. Sedangkan pada kasus-kasus tingkat berat mereka memiliki pengendalian yang lemah pada tubuhnya, tidak mampu duduk, berdiri, atau berjalan tanpa bantuan alat penguat.
b.      Athetosis
Penyebab athetosis yaitu luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun tengah. Ekstra piramida menjembatani antara kegiatan otot dan kontrol gerak secara otomatis seperti berjalan dan ekspresi wajah.
Anak yang menderita athetosis tampak susah payah untuk berjalan, menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung (sempoyongan). Gerakannya tidak berirama dan tidak mengikuti urutan yang wajar sehingga perilakunya sering tidak terkontrol. Beberapa dari mereka begerak dengan cara tidak wajar atau aneh. Meskipun penderita athetosis mampu meletakkan tangan pada mulutnya, namun ketika melakukan gerakan ini tampak berbagai bentuk gerakan yang tidak terkontrol dan ekstrem.
Dalam kondisi tidur, penderita athetosis menggerakkan badannya seperti menggeliat tidak tampak, namun gerakan ini akan muncul pada saat penderita dalam keadaan sadar. Gerakan abnormal penderita athetosis kian menghebat apabila disertai emosi yang tinggi pada dirinya. Karakteristik dari penderita ini mengalami problem pada sejumlah besar tangan, bibir, lidah, serta sejumlah kecil kaki. Populasi penderita athetosis diperkirakan sekitar 15-20% dari penderita cerebral palsy.
c.        Ataxia
Kondisi ataxia disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak di bagian belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot. Anak yang menderita ataxia gerakannya tidak teratur, berjalan dengan langkah yang tinggi dan dengan mudah menjatuhkannya. Terkadang matanya tidak terkoordinasi, gerakannya seperti tersentak-sentak (nygtamus). Penderita ataxia tidak terdeteksi ketika dilahirkan, namun ketika masa meraban dan berjalan kondisi ini tampak jelas. Ataxia ada beberapa tingkatan mulai dari yang ringan sampai yang sangat berat tergantung perluasan luka pada cerebellum.



d.      Tremor dan Regidity
Tremor dan regidity mirip dengan athetosis yaitu disebabkan oleh luka pada sistem ekstra piramida. Kondisi ini muncul pada sebagian kecil anak penderita cerebral palsy. Tremor pada penderita cerebral palsy diketahui sejak dini, manakala terjadi perubahan fibrasi tubuh secara alami tidak beraturan. Hal ini terjadi akibat gangguan keseimbangan antara kelompok otot yang bekerja berlawanan. Dalam kondisi ini anak masih dapat melakukan aktivitas sesuai dengan tujuannya, walaupun ada beberapa hambatan jika dibandingkan dengan penderita spasticity atau athetosis. Regidity merupakan interferensi terhadap postural tone yang disebabkan oleh resistensi otot-otot agonis dan antagonis. Berbeda dengan anthetosis yang mana gerakannya lebih bebas dan lebih sering berubah, sedangkan tremor dan rigidity gerakannya terbatas dan menurut irama tertentu serta agak lambat.
Menurut Delphie (2006:124), pada tremor dan rigid umumnya mereka mempunyai gangguan pada keseimbangan tubuh, disebabkan karena adanya kelainan pada postural dan akibat hambatan otot yang berlawanan.
e.       Tipe Campuran
Pada kasus-kasus tertentu terdapat penderita yang kondisinya menunjukkan perpaduan di antara jenis-jenis cerebral palsy. Contohnya penderita cerebral palsy yang diidentifikasikan dalam ciri spasticity tampak pula ciri athetosis dan ataxia, atau spasticity dengan tremor atau rigidity, atau bentuk kombinasi yang lain.

No comments:

Post a Comment